Pencemaran Dampak Lumpur Lapindo

Pencemaran Dampak Lumpur Lapindo

:

Porong, sebuah kecamatan nan berada di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur itu kini hanya berupa genangan lumpur. Wilayah seluas 640 hektar itu kini hanya berupa hamparan kolam lumpur dengan bau gas nan menyengat. Wilayah nan terkena akibat lumpur Lapindo setidaknya mencakup tiga kecamatan, yaitu kecamatan Tanggulangin, kecamatan Porong, dan kecamatan Jabon. Ketiga kecamatan itu kini menjadi tanggul penyangga dengan maksud agar luapan lumpur panas tak meluas ke wilayah lain. Tapi pada perkembangannya terdapat lebih dari 12 desa di luar tanggul nan menjadi korban luapan lumpur ini. Bagaimana sebenarnya sejarah lumpur Lapindo ini? Mengapa terjadi semburan lumpur nan begitu sulit dikendalikan?



Sejarah Luapan Lumpur Lapindo

Semburan dan luapan lumpur Lapindo diduga dampak dari aktivitas PT. Minarak Lapindo Jaya, nan merupakan sebuah perusahaan pengeboran gas alam. Perusahaan ini ialah perusahaan Joint Venture Indonesia-Australia.

Sekitar awal Maret 2006, melalui perusahaan kontraktor pengeboran, yaitu PT. Medici Gambaran Nusantara, PT. Minarak Lapindo Jaya melakukan pengeboran pada usmur Banjar Panji-1. Awalnya pengeboran direncanakan hingga mencapai kedalaman 2590 meter (sekitar 8500 feet) agar dapat mencapai formasi batu gamping (Kujung). Pada sumur tersebut akan dipasang casing (selubung bor) nan memiliki variasi ukuran nan disesuaikan dengan kedalaman. Casing ini dimaksudkan buat antisipasi hilangnya lumpur dalam formasi (circulation loss) serta masuknya fluida/formasi lumpur itu ke dalam sumur (kick) sebelum formasi Kujung tercapai.

Menurut press rilis Lapindo buat wartawan, tanggal 1 Juni 2006, sinkron rencana, Lapindo telah memasang casing ukuran 30 inci di kedalaman 150 kaki, casing ukuran 20 inci di kedalaman 1195 kaki, casing liner ukuran 16 inci di kedalaman 2385 kaki serta casing 13-3/8 inci di kedalaman 3580 kaki. Pada saat pengeboran mencapai kedalaman sekitar 3580 kaki – 9297 kaki, para pekerja belum sempat memasang casing 9-5/8 inci nan menurut planning akan dipasang ketika pengeboran mencapai kedalaman 8500 kaki, yaitu antara formasi Kalibeng Bawah dan formasi Kujung.

Berdasarkan hal itu, diperkirakan PT. Minarak Lapindo Jaya melakukan perencanaan pengeboran berdasarkan pada prognosis nan kurang tepat. Pada prognosis nan dibuat diasumsikan bahwa mereka melakukan pengeboran di zona Rembang nan targetnya ialah formasi Kujung. Ternyata mereka sebenarnya melakukan pengeboran di zona Kendeng, formasi Kendeng ini tak memiliki formasi Kujung. Jadi mereka berniat memasang casing tadi ketika bor telah menyentuh batu gamping pada formasi Kujung nan sebenarnya tak ada. Selama kegiatan pengeboran, setelah melewati kedalaman 3580 kaki, ada lumpur nan overpressure (lumpur nan bertekanan tinggi) nan berasal dari formasi Pucangan. Lumpur ini berusaha menerobos atau melakuakn blow out, tetpi masih dapat diatasi oleh pompa lumpur milik PT. Medici Gambaran Nusantara.

Ketika pengeboran mencapai kedalaman 9297 kaki, mata bor menyentuh formasi Klitik, nan oleh pihak Lapindo disangka sebagai formasi Kujung. Pada formasi Klitik, batu gamping memiliki sifat porous (berlubang-lubang). Akibatnya, lumpur nan sedianya digunakan buat menghambat lumpur nan berasal dari formasi Pucangan, hilang terserap oleh lubang-lubang pada formasi Klitik (circulation loss) akhirnya mereka kehilangan lumpur di permukaan dan lumpur dari formasi Pucangan bergerak menerobos keluar, hingga terjadi kick. Sinkron prosedur, jika terjadi hal seperti itu, maka bor harus diangkat atau ditarik, tapi ternyata mata bor terjepit dan tidak dapat ditarik. Akhirnya mata bor dipotong.

Kegiatan pengeboran pun dihentikan, lalu perangkap Blow Out Preventer (BOP) pada rig segera ditutup kemudian lumpur pengeboran nan memiliki densitas berat dipompakan ke dalam sumur, tujuannya ialah buat menghentikan kick. Tetapi, formasi fluida nan tekanannya tinggi terlanjur naik hingga batas antara open-hole dan surface casing (selubung di permukaan) nan berukuran 13-3/8 inci.

Diperkirakan pada kedalaman itu banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) belum lagi kondisi tanah nan tak stabil. Hingga lumpur terus naik kepermukaan. Karena BOP telah ditutup, maka tekanan lumpur itu tak dapat keluar melalui saluran pengeboran, tetapi mencari jalan di antara rekahan-rekahan alami nan ada, akhirnya lumpur pun meluap keluar dari celah-celah di sekitar wilayah pengeboran, dan bukan dari lubang sumur pengeborannya.

Penyebab meluapnya lumpur panas tadi sempat menjadi pembicaraan serius pada ajang American Association of Petroleum Geologists AAPG 2008 International Conference & Exhibition nan berlangsung di Cape Town International Conference Center Afrika Selatan. Pada ajang ini hadir para pakar geologi dari berbagai negara, dan mereka terlibat diskusi serius mengenai apa sebenarnya nan menyebabkan lumpur lapindo mluap.

Hasil pembicaraan itu adalah, tiga orang ahli dari Indonesia menyatakan, bahwa luapan lumpur panas Lapindo disebabkan oleh imbas dari gempa nan pernah terjadi di Yogyakarta, empat puluh tiga orang ahli menyatakan bahwa kesalahan mekanisme dan human error nan menyebabkan luapan lumpur itu. Lalu tiga belas orang ahli menyebutkan, bahwa luapan lumpur ini merupakan dampak dari gabungan kedua peristiwa itu, imbas dari gempa dan kesalahan mekanisme pengeboran. Enam belas orang ahli memberikan pernyataan bahwa mereka belum dapat memberikan pandangan. Sementara itu pada tanggal 29 Mei 2007, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dalam laporan auditnya menemukan berbagai kesalahan teknis pada aktivitas pengeboran itu.

Pada tanggal 28 Desember 2006, dua orang ahli geologi Indonesia dimintai keterangannya oleh kepolisian mengenai semburan lumpur Lapindo. Mereka ialah Prof. Sukendar Asikin, Guru Besar Geologi dari ITB, dan Sofyan Hadi, pakar geologi dari Surabaya. Pada dasarnya keduanya sepakat mengenai satu hal. Bahwa lumpur nan meluap itu merupakan Mud Volcano. Menurut Sofyan Hadi, kejadian serupa juga melanda Buncitan, Sedati, Sidoarjo, Gununganyar, Surabaya, Bangkalan Madura, termasuk juga di Bojonegoro. Luapan mud volcano biasanya terjadi pada masa lalu hingga ratusan tahun nan lalu. Kasus lumpur Lapindo ini termasuk kejadian nan luar biasa menurut Sofyan.



Kandungan Unsur-Unsur Kimia pada Lumpur Lapindo

Penelitian terhadap kandungan zat kimia nan ada pada lumpur Lapindo pernah dilakukan oleh tiga laboratorium nan dapat dipercaya dan sudah terakreditasi seperti Sucofindo, Corelab, dan Bogorlab, ternyata lumpur Lapindo tak termasuk ke dalam kategori limbah B3, kandungannya antara lain: bahan anorganik (Arsen, Barium, Boron, Timbal, Raksa, Sianida Bebas, dan sebagainya) serta bahan organik (Trichlorophenol, Chlordane, Chlorobenzene, Chloroform, dan lain-lain).
Pada pengujian LC50, pada udang windu diperoleh nilai LC50 sebesar 56.623,93 hingga 70.631,75 mg/L SPP. Menurut baku EDP-BPPKA dari Pertamina, lumpur disebut beracun jika memiliki nilai LC50 lebih kecil atau sama dengan 30.000 mg/L SPP. SPP ialah Suspended Particulate Phase.



Pencemaran Dampak Lumpur Lapindo

Walaupun lumpur Lapindo tak termasuk dalam golongan limbah B3 , tetapi intensitas dan jumlahnya nan sangat melimpah tetap saja menjadi masalah nan merugikan bagi masyarakat sekitarnya. Selain terbenamnya ratusan desa, berbagai kenangan, harta benda, mata pencaharian, kegembiraan dan masih banyak lagi, dalam sejarah lumpur Lapindo. Lumpur ini juga masih memberikan ancaman berupa pencemaran terhadap lingkungan sekitarnya. Seperti pencemaran air, pencemaran udara, dan pencemaran tanah.

Salah satu wilayah nan parah ditelan sejarah lumpur Lapindo ialah Porong. Porong bukanlah daerah nan baru terbentuk, tapi telah ada sejak majapahit masih menguasai nusantara. Porong berada di sekitar lintasa sungai Brantas sehingga perkembangannya sangat pesat. Sampai menjelang meluapnya lumpur Lapindo, Porong merupakan daerah nan pemukimannya ramai, banyak pabrik berdiri di sana.

Saat ini Porong hanya tingga hamparan danau lumpur panas, nan meletup-letup dan berbau menyengat, tak ada lagi kehidupan di sana, nan tersisa hanyalah cerita nan lambat laun seiring waktu akan semakin pudar, digantikan oleh cerita baru, sejarah lumpur Lapindo.