Apakah Subordinat Gender Itu?

Apakah Subordinat Gender Itu?

Dunia kerja ialah global nan dinamis. Ragam karakter manusia berkumpul di suatu loka dan berjumpa setiap hari. Anda bisa menemukan pengelompokan atas nama disparitas ras, kelamin, dan kepentingan. Salah satu hal nan kerap terjadi di global kerja, yaitu diskriminasi. Subordinat ini bisa bermacam-macam, nan paling populer ialah subordinat gender sebagai contoh subordinat di loka kerja.

Sebetulnya apa sih subordinat gender itu? Ada baiknya kita simak bersama klarifikasi berikut.



Apakah Subordinat Gender Itu?

Diskriminasi gender ialah bentuk perlakuan nan merujuk kepada ketidakadilan nan diterima oleh individu tertentu, dalam bentuk pelayanan atau fasilitas nan disebabkan ciri eksklusif nan dimiliki oleh individu tersebut.

Diskriminasi biasa dijumpai sebab kesamaan manusia buat membeda-bedakan satu sama lain.

Biasanya, subordinat didasarkan oleh disparitas ras, kepercayaan, genre politik, dan fisik.

Dalam subordinat gender, perlakuan tak adil memang kerap diterima oleh wanita. Orang sering mengaitkan wanita dengan kodratnya sebagai ibu rumah tangga dan sekaligus menjadi pembenaran bahwa wanita harus berada di belakang laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Belum lagi dengan segala hambatannya, taraf pendidikan kaum wanita di negeri ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kaum laki-laki.

Tingkat pendidikan wanita belum tentu sejajar dengan taraf kemandiriannya. Hal ini disebabkan wanita kerap terjebak dalam stereotip sosial gender. Asumsi bahwa setinggi-tingginya wanita berkarir, ujung-ujungnya hanya akan memasak di dapur dapur sudah mendarah daging dalam masyarakat. Hal ini tentu saja menjadi sebuah batas nan tanpa disadari telah menggarisi lingkup wanita di global kerja.

Termasuk juga di tingkatan kepemimpinan, banyak orang (termasuk wanita juga) nan mengalami kesulitan buat menerima kepemimpinan seorang wanita. Juga dalam batas usia pernikahan, terdapat pembedaan usia minimal buat menikah bagi wanita dan laki-laki. Laki-laki nan melajang hingga usia 30-an dinggap biasa saja, sementara wanita yg belum menikah di usia tersebut diberi predikat perawan tua.

Dalam subordinat gender di loka kerja, wanita kerap dikotak-kotakkan dalam bidang tertentu. Seperti pekerjaan sekretaris, humas, suster, dan customer service nan seolah-olah ditetapkan sebagai bagian spesifik wanita. Sementara bidang teknik, kontraktor, pertambangan, dan kosntruksi menjadi ladang bagi laki-laki.

Dalam global kerja, wanita diberi persyaratan nan tak wajar seperti ”berpenampilan menarik”. Tentu saja pekerja laki-laki tak pernah mendapatkan persyaratan tersebut. Hal ini tentu saja mengarah kepada tindakan nan menjurus ke arah pelecehan seksual bagi pekerja wanita.

Selain itu, perusahaan menetapkan syarat agar karyawan wanita menggunakan rok pendek. Hal-hal seperti itulah nan jelas-jelas menunjukkan adanya subordinat gender nan terjadi di perusahaan.



Apa Sajakah Ciri-Ciri Subordinat Gender di Loka Kerja?

1. Pertanyaan Seputar Anak

Ketika awal wawancara, calon pekerja wanita kerap diberi pertanyaan ”standar” tentang anak. Biasanya pertanyaan nan dilontarkan seperti, ”Ingin mempunyai anak berapa?” (bagi nan belum menikah) atau ”sudah punya anak berapa?” (bagi nan sudah menikah).

Hal ini sudah mengindikasikan seolah-olah perusahaan tersebut tengah mengukur keloyalan si calon pekerja disebabkan memiliki anak dan keluarga. Tentu saja nan ditakutkan oleh perusahaan tersebut ialah si calon pekerja wanita tersebut tak bisa bekerja secara total sebab harus membagi waktu mengurus anak dan keluarganya.

Pertanyaan tersebut sudah sedemikian lazimnya sehingga banyak nan tak menyadari bahwa itu merupakan salah satu contoh subordinat gender di global kerja. Pertanyaan itu sendiri merupakan indikasi bentuk diskriminatifnya lingkungan pekerjaan terhadap wanita. Bisa dikatakan, bahwa wanita tak bisa bekerja secara total, seperti kaum laki-laki.

2. Tidak Diterimanya Masukan atau Kritik dari Pekerja Wanita

Sudah merupakan hal nan biasa bahwa kebanyakan pekerja baik wanita maupun pria sulit menerima masukan atau kritikan dari rekan kerja wanita, bahkan dari atasan wanita. Hal ini disebabkan ada asumsi bahwa wanita dianggap kurang pantas buat memberi masukan atau kritikan di perusahaannya. Hal ini juga dipicu oleh asumsi bahwa wanita kerap berpikir dengan rasa, bukan dengan logika seperti nan kaum laki-laki lakukan.

Hal ini tentu saja merupakan bentuk diskriminatif. Karena jika masukan atau kritikan nan diberikan oleh kaum laki-laki dianggap bijaksana, maka masukan nan diberikan oleh kaum pekerja wanita dianggap sebagai sikap ikut campur atau nyinyir . Oleh sebab itu, perusahaan akan cenderung mengabaikan masukan nan keluar dari pekerja wanita.

3. Wanita Identik dengan Posisi atau Jabatan Tertentu

Wanita acap kali mendapat tugas nan diposisikan sebagai pegawai administrasi. Sering kali, wanitalah nan diminta buat menjadi notulis dalam kedap perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa seolah-olah wanita hanya pantas mengerjakan hal-hal nan berhubungan dengan administrasi.

Perempuan dianggap lebih cocok mengerjakan tugas-tugas nan bersifat administratif daripada pekerjaan nan melibatkan pengambilan keputusan.

Perusahaan nan membatasi kesempatan wanita buat menjadi pemimpin di perusahaan tersebut menjadi citra bahwa pemimpin wanita tak akan bekerja secara efektif dan tak seaktif pekerja laki-laki. Cara tersebut jelas mengindikasikan adanya contoh subordinat gender di perusahaan tersebut.

4. Memberi Tugas di Saat-Saat Akhir

Banyak perusahaan nan memiliki kesamaan memberikan tugas nan tenggat waktu kepada pekerja wanita. Hal itu biasanya dilakukan secara sengaja oleh perusahaan buat membuktikan kemampuan pekerja wanita tersebut dalam menyelesaikan tugas.

Jika wanita tak bisa melakukan tugasnya dengan baik maka wanita tersebut lebih sibuk mengurus keluarganya dibandingkan pekerjaannya, sehingga tugas nan diberikan oleh perusahaan tak bisa diselesaikannya.

Padahal terlepas dari wanita atau laki-laki, pemberian pekerjaan dengan tenggat waktu nan terlalu singkat akan mempertinggi persentase kegagalan. Hal ini jelas menandakan adanya subordinat gender di perusahaan tersebut.

5. Disela Ketika Berbicara

Percaya atau tidak, pekerja wanita lebih sering disela pembicaraannya dibanding pekerja laki-laki. Ketika sedang menerangkan sesuatu, wanita sering disela saat berbicara oleh rekan kerjanya.

Hal ini disebabkan, pekerja wanita sering dianggap cenderung berlebih-lebihan dalam menyampaikan suatu gambaran atau informasi sedangkan pekerja laki-laki menjelaskan secara langsung atau to the point . Tentu saja ini merupakan salah satu bentuk subordinat gender nan terjadi.

Selain itu, wanita sulit diberikan kedudukan atau posisi nan sinkron dengan kemampuannya. Wanita juga mendapatkan perlakuan nan tak sama dengan laki-laki dalam hal gaji . Level gaji wanita dan pria berbeda padahal memiliki posisi nan sama.

6. Hak Reproduksi Wanita Dianggap Tidak Efisiensi bagi Perusahaan

Sering kali, pemberian perlop melahirkan dianggap pemborosan oleh perusahaan, sebab gaji tetap diberikan sementara pekerja wanita tersebut tak bekerja. Wanita dianggap mengganggu produktivitas perusahaan sehingga banyak perusahaan nan memberikan anggaran pelarangan menikah selama waktu eksklusif kepada karyawan wanita.

Bahkan, kasus pemecatan dilakukan perusahaan kepada pekerja wanita nan tengah mengandung sebab dianggap tak produktif lagi. Jelas hal ini merupakan contoh subordinat gender nan tak seharusnya dilakukan oleh perusahaan kepada pekerja wanita.



Apa nan Harus Dilakukan Agar Subordinat Gender Bisa Dihapuskan?

Wanita dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban nan sama. Disparitas jenis kelamin tak menggugurkan dan menambah suatu hal nan sudah menjadi hak dan kewajiban setiap individu. Hal nan harus diubah pertama kali ialah cacat posisi wanita dan laki-laki di mata masyarakat sosial.

Bahwa secara tradisional, laki-laki dianggap pencari nafkah dan wanita sebagai pekerja sosial nan mengurus keluarga di rumah. Padahal, sekarang banyak wanita menjadi eksekutif-eksekutif di perusahaan dan laki-laki nan mengurus masalah domestik keluarga.

Kesetaraan gender haruslah dipandang krusial dan masing-masing gender harus diperlakukan sama adilnya sehingga tak akan menimbulkan bias dan prasangka. Jangan sampai menahan peran, tanggung jawab, imbalan atau penghargaan hanya disebabkan berpretensi generik nan telah mendarah daging.

Istilah gender itu sendiri tak hanya meliputi wanita, tetapi juga laki-laki. Jika pemahaman tentang kesetaraan gender diaplikasikan dengan sahih oleh semua pihak, tentu segala bentuk dan contoh subordinat mampu diminimalisasi dengan baik, sehingga harmoni nan dicita-citakan oleh semua pihak bisa terwujud.