Hubungan Ulama dengan Penguasa
Ulama dekat dengan rakyat. Itu sudah menjadi fitrah alami. Rakyat senantiasa mencari sosok nan bisa mengayomi secara jasmani dan rohani. Sosok itu biasanya memiliki kemampuan dalam bidang agama dan akhlak nan baik dalam kesehariannya. Sebagai manusia normal, wajar setiap waktu dihadapi dengan masalah-masalah nan terkadang gembira, sedih, atau susah. Manusia tak mungkin akan menampung masalah-masalah tersebut sendirian. Perlu dibagi dengan orang lain.
Ulama di Masyarakat
Pada mulanya, target buat menumpahkan masalah-masalah tersebut ialah orang-orang nan terdekat. Tetapi, tak semua orang dapat dan mampu menjadi sosok pendengar dan pengayom. Ketidakpuasan pada diri manusia nan sedang dirundung banyak masalah kerap kali terjadi.
Keberadaan ulama menjadi saran tampungan nan baik bagi orang nan sedang banyak masalah. Kharismanya bisa menyejukan setiap orang, walaupun petuah nan diberikan sebenarnya biasa-biasa saja.
Cerminan kehidupan sehari-harinya bisa mengingatkan kita pada Tuhan Yang Maha Esa. Petuah-petuah nan diberikan banyak didengarkan dan dilaksanakan oleh orang.
Kedekatan banyak orang dengan ulama tersebut jadi sebuah komunitas sosial agama kultural. Tidak heran, di setiap daerah atau wilayah terdapat pondok pesantren. Terkadang terdapat ritual-ritual khas tersendiri di pondok pesantren tersebut. Keberadaan pondok pesantren ini sebagai benteng sekaligus pemelihara akhlak dan moral di daerah tersebut.
Dulu, pondok pesantren didirikan memang ditujukan buat memerangi kemaksiatan dan moral masyarakat setempat nan buruk. Untuk mempertahankan diri dan menghindari aksi-aksi kekerasan, di pondok pesantren tersebut biasanya terdapat satuan keamanan bela diri. Bidang bela diri ini bisa membuat daya tarik bagi para pemuda sekitar buat belajar di pondok pesantren.
Jadi, lengkap sudah bahwa pondok pesantren sebagai pengayom, pemelihara, dan pembangun kehidupan masyarakat. Kekuatan ulama menarik massa tak dapat diremehkan. Perbedaan makna politik kerapkali memasuki wilayah pondok pesantren. Sejak jaman dulu hingga sekarang sudah jamak terjadi. Dari taraf pemilihan kepala desa hingga pemimpin negara, tokoh-tokoh agama di pondok pesantren menjadi target meraup dukungan massa.
Calon kepala desa bersilaturahmi ke kiai kharismatik, minta doa dan dukungannya agar berhasil saat pemilihan kepala desa. Saat musim kampanye pemilu taraf nasional, calon-calon legislatif rajin bersilaturahmi ke berbagai pondok pesantren di daerah-daerah.
Adanya interaksi para calon-calon pemimpin di daerah nan bersilaturahmi ke pondok-pondok pesantren menumbuhkan rasa simpatik dan pesimistis bagi banyak pihak. Terutama bagi para versus politik masing-masing calon pemimpin, sehingga gesekan-gesekan antar pondok pesantren kerap kali terjadi.
Para ulama biasanya sudah membentengi diri buat mengantisipasi hal-hal jelek seperti ini. Mereka bersikap netral. Mereka tak mau terbawa arus politik nan bisa membahayakan posisinya.
Tujuan primer berdiri pondok pesantren, yaitu membangun akhlak dan moral masyarakat sinkron dengan tuntunan agama.
Para ulama dengan ikhlas dan sukarela membangun pondok pesantren di daerah-daerah nan sakit dilihat dari segi rohani dan spiritual. Mereka berjuang buat kemaslahatan umum.
Pondok pesantren mendidik para santrinya dengan ajaran agama dan akhlak mulia. Setelah lulus, mereka harus menerapkan ilmu pendidikan ke masyarakat. Banyak santri dari pondok pesantren ditugaskan oleh ulama buat mendirikan pondok-pondok pesantren baru di daerah-daerah baru. Santri nan berminat pada tugas-tugas kenegaraan bisa mengamalkan dasar-dasar ilmu agama di lingkaran negara.
Adanya dukungan dari para ulama ini, lulusan santri tak ragu-ragu lagi dalam berjuang demi kepentingan agama, bangsa, dan negara. Memang, sejak peristiwa aksi terorisme nan memakan banyak korban di seluruh dunia, telah membuat gambaran pondok pesantren jadi sorotan negatif di berbagai belahan dunia.
Di dunia, kelompok Islam terbagi beberapa golongan. Setiap genre memiliki ulama kharismatik. Terkadang pendukungnya sangat fanatik dan kolot. Kelompok Islam nan berhaluan moderat lebih banyak diterima oleh masyarakat luas, dibandingkan kelompok Islam nan berhaluan fundamentalis.
Kelompok Islam moderat mengedepankan kemaslahatan umum. Toleransi mereka terhadap disparitas cara-cara beribadah, ritual agama kelompok keagamaan lain sangat tinggi. Kelompok Islam fundamentalis mengedepankan kemurnian syariat agama. Mereka sangat berhati-hati dan berpegang teguh dalam menjalankan syariat-syariat agama.
Bangsa Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Berbagai macam suku, bahasa, agama, dan genre kepercayaan hayati bersama sejak ratusan tahun lalu. Indonesia memerlukan pandangan toleransi nan tinggi terhadap perbedaan, kerja sama, dan gotong royong, bahu membahu dalam mewujudkan keamanan dan kepentingan bersama.
Golongan nan ingin memaksakan kehendak pandangan eksklusif sulit diterima oleh bangsa Indonesia. Para tokoh lintas agama sudah menyadari arti krusial kebersamaan ini.
Tuga-tugas para lulusan pondok pesantren nan bertujuan buat meningkatkan ilmu agama dan akhlak masyarakat harus dibekali dengan ilmu antropologi setempat. Terlalu banyak kontradiksi nan bisa menyebabkan konflik horizontal nan tidak berkesudahan. Kerugian nan didapat tak hanya buat santri tersebut, akan tetapi asal pondok pesantren, masyarakat, bangsa, dan negara. Kita tak mau kan, agama Islam dikatakan sebagai agama pembawa maut.
Adanya lembaga tokoh lintas agama merupakan salah satu wadah mewujudkan masyarakat nan aman. Pengaruh obrolan di antara mereka bisa dipatuhi oleh banyak umat. Kegiatan lembaga tokoh lintas agama sering-sering saja diselenggarakan oleh negara sebab kegunaan nan luar biasa bagi masyarakat luas. Rakyat butuh tokoh-tokoh agama sebagai pengayom kehidupan masyarakat dunia.
Hubungan Ulama dengan Penguasa
Sejarah interaksi tokoh-tokoh agama dengan penguasa banyak bercerita tentang ketidakharmonisan. Penguasa banyak menggunakan tokoh-tokoh agama sebagai alat melanggengkan kekuasaan dan pelegalan kebijakan penguasa. Tokoh-tokoh agama nan bersikap netral biasanya terpinggirkan di lingkaran kekuasaan dan kerap kali mengalami ketidakadilan. Tokoh agama seperti ini biasanya menolak tawaran jabatan atau donasi dalam bentuk apapun dari penguasa.
Akan tetapi, pada sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa, tokoh ulama dapat berperan sebagai penguasa. Di era wali songo, para wali menguasai sistem pemerintahan. Para bangsawan kerajaan banyak nan tunduk dengan mereka. Kita mengenal sunan Suci nan berperan dalam percaturan politk antara Sultan Hadiwijaya dan Arya Penangsang.
Tokoh wali lainnya, yaitu Sunan Gunungjati nan bertahta di kesultanan Cirebon. Mereka merupakan pemimpin dan tokoh agama nan pantas menjadi teladan.
Saat ini sulit mencari sosok tokoh-tokoh agama, seperti wali songo. Dibagi dua urusan agama dan kekuasaan sangat jelas. Penyatuan keduanya bisa berakibat fatal bagi stabilitas negara. Kesamaan sekarang, ulama dimanfaatkan sebagai alat peraup massa di taraf grass root.
Tokoh-tokoh agama lebih banyak digunakan sebagai bumper atau peredam di kala instabilitas negara goyah. Kita semua teringat pada peristiwa G.30 S/PKI. Saat itu, gejolak politik sangat kencang dan keras. Para penguasa meminta donasi kepada para tokoh agama buat menstabilkan keamanan negara. Pemberangusan orang-orang PKI tidak akan sukses jika tak ada donasi dari para tokoh agama kharismatik.
Ulama saat ini lebih banyak berperan sebagai pembangun moral anak bangsa dari degradasi akhlak buruk. Serbuan budaya luar negeri nan tak sinkron dengan kepribadian bangsa Indonesia telah mengikis nilai-nilai luhur bangsa.
Dunia nan sudah tak bersekat-sekat telah menjajah anak bangsa di segala bidang. Budaya dari luar negeri memerlukan filter nan hanya dapat tertanam pada anak bangsa dengan pendidikan moral nan baik. Benteng moral dan akhlak mulia dapat terbentuk apabila sejak usia dini sudah tertanam. Semua stakeholder harus memiliki komitmen nan baik dalam pembangun moral dan akhlak mulia sebagai bukti diri bangsa dan negara.
Pejabat-pejabat tinggi negara saat ini banyak memperlihatkan contoh nan jelek pada anak-anak bangsa. Sedemikian mudahnya mereka melakukan tindakan korupsi tanpa merasa malu pada rakyat. Pejabat lainnya tersandung tindakan aksi pornografi nan jelas-jelas merusak moral anak bangsa.
Hampir setiap hari kita disuguhi warta nan tidak bermoral di media cetak dan elektronik. Pelakunya, jelas-jelas mereka nan memiliki agama dan dari institusi terhormat. Ini bisa dilihat dari nama dan latar belakangnya.
Demikian juga tindakan-tindakan represif alat negara sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Contohnya, perlakuan alat negara terhadap para demonstran nan menentang penambangan di daerah Nusa Tenggara Barat, merupakan salah satu perlakuan tindakan buruk. Persoalan-persoalan seperti ini nan harus diperbaiki oleh semua anak bangsa. Ulama, penguasa, dan rakyat harus ikut terlibat di dalamnya.
Ulama, penguasa, dan rakyat nan saling bersinergi dalam pembangunan akhlak dan moral bisa membuahkan kepribadian bangsa nan berkualitas tinggi. Keberhasilan tak hanya dipandang dari segi statistik saja, tapi keberhasilan meliputi sisi rohani atau spiritual bangsa. Jadi, bangsa ini tidak lagi dikenal sebagai bangsa korup atau curang.